Senin, 23 Januari 2012

EPISODIC FUTURE THINKING PADA ANAK USIA DINI

Perilaku remaja seringkali menjadi sorotan di media massa, terutama yang bertentangan dengan norma masyarakat.  Perilaku tersebut berkaitan dengan seks (Wahyuningsih, 2011), perkelahian (Sutrisno, 2011), narkoba (Rahayu, 2011), rokok (“Iklan Rokok di TV Sesatkan Remaja Putri Indonesia”, 2008), bahkan teror (“Pelaku Bom Bunuh Diri Marriott Remaja 18 Tahun”, 2009). Penelitian mengenai perilaku remaja yang negatif tersebut sebenarnya sudah banyak dilakukan dan keberadaan berbagai faktor penyebabnya juga telah dibuktikan (Suryoputro, Ford, & Shaluhiyah, 2006; Komasari & Helmi, 2000; Shih & Huh, 2011; Livingstone, 2008; Wu, 2010; Yowell, 2000). Selain bukti-bukti tentang faktor yang mempengaruhi, penelitian-penelitian tersebut juga membuktikan bahwa para remaja pun memikirkan antisipasi atas konsekuensi yang harus ditanggungnya.  Sayangnya pertimbangan yang digunakan oleh para remaja yang berperilaku negatif sebagai dasar antisipasi tersebut tidaklah matang.
Sebenarnya kemampuan untuk melakukan antisipasi yang ditunjukkan remaja tersebut telah ada sejak masih berusia kanak-kanak. Bukti ini diperoleh dari penelitian mengenai perkembangan kognitif, terutama dalam cakupan kemampuan yang disebut dengan episodic future thinking (Atance, C.M. & Meltzoff, A.N., 2005), yaitu kemampuan untuk memikirkan antisipasi suatu peristiwa tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang (Szpunar & McDermott, 2008).  Kemampuan yang membuat individu dapat menyusun berbagai alternatif  skenario peristiwa yang akan datang secara detail sebagai dasar pertimbangan dalam antisipasi. Kemampuan yang khas pada manusia karena pemikiran yang subjektif mengenai waktu tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya (Tulving, 2002), berhubungan dengan keberadaan episodic memory atau ingatan mengenai peristiwa khusus yang pernah dialami (Schacter & Addis , 2007; Szpunar & McDermott, 2008 ; D’Argembeau & Van der Linden, 2011), dan berkembang seiring dengan pertambahan usianya (Szpunar & McDermott, 2008).
Pada usia yang masih sangat muda, atau yang biasa disebut dengan usia dini, kemampuan dalam episodic future thinking (EFT) masih belum terlihat dengan jelas sehubungan dengan masih terbatasnya kemampuan dalam aspek kognitif, terutama bahasa, dan emosi, terutama pada regulasi diri (Szpunar & McDermott, 2008).
Nelson (dalam Atance & O’Neill, 2005) berpendapat bahwa pembicaraan yang paling signifikan tentang masa depan biasanya bicara tentang peristiwa yang belum pernah dialami, berbeda dengan rutinitas sehari-hari yang anak-anak tahu dan pergunakan untuk mendukung antisipasi hal-hal yang akan datang. Kunci EFT adalah proyeksi atau memposisikan diri. Proyeksi dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi perilaku yang dipercaya menjadi bukti pemikiran masa depan episodik.
Cara bagaimana anak berbicara tentang suatu peristiwa di masa depan dapat berfungsi sebagai indikator apakah mereka memproyeksikan diri mereka sendiri ke kegiatan tersebut.  Proyeksi diri yang diperlukan untuk  mengantisipasi dan kemampuan untuk mengenali kendala memainkan peran penting pada anak-anak. Sebagai contoh, seorang anak yang berbicara tentang kemungkinan terluka (misalnya,''Saya mungkin akan terluka'') dapat membentuk lebih dari satu representasi dari bagaimana masa depan akan terungkap dan, lebih khusus, apa yang mungkin atau tidak mungkin terjadi pada diri selama aktivitas di masa depan.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan EFT adalah kualitas interaksi antara anak dengan orang tua, tingkat pencapaian perkembangan kognitif, terutama bahasa, dan perkembangan emosi, terutama dalam regulasi diri. Faktor utama yang berkontribusi adalah kemampuan orang tua untuk berbicara pada anak-anak tentang masa depan, juga seberapa sering frekuensinya. Hudson (dalam Atance & O’Neill, 2005) menunjukkan bahwa ketika mendiskusikan peristiwa masa depan dengan akrab, ibu cenderung berfokus pada apa yang biasanya terjadi. Namun, ketika membahas peristiwa-peristiwa masa depan yang anak-anak belum memiliki pengalaman sebelumnya, ibu lebih cenderung untuk menyarankan berbagai alternatif tindakan.
Faktor lain yang dipertimbangkan dalam EFT adalah peran bahasa. Selain anak-anak mendapatkan pemahaman yang lebih baik di masa depan melalui percakapan dengan orang tua dan orang dewasa lainnya, anak-anak juga mengembangkan keterampilan berpikirnya yang akan memberikan sumbangan terhadap kemampuan mereka dalam memproyeksikan diri ke masa depan.  Kemampuan yang terbukti dipengaruhi oleh kualitas referensi pengalaman individu sebagai dasar bagi penggambaran masa depan dalam cakupan yang serupa dengan apa yang pernah dialaminya menggunakan apa yang diperoleh inderanya saat distimulasi (Schacter & Addis , 2007; Szpunar & McDermott, 2008 ; D’Argembeau & Van der Linden, 2011).  Khusus pada anak-anak, penelitian yang dilakukan oleh Szpunar & McDermott (2008) membuktikan bahwa kemampuan dalam EFT masih belum berkembang dengan baik sehubungan dengan ketidaktahuan dan kurangnya pemahaman atas pengalaman yang ditambah dengan indikasi ketidakmatangan regulasi diri, oleh Atance dan Meltzoff (2005). Temuan ini didukung oleh bukti yang dikemukakan oleh Gross dan John (2003) mengenai strategi regulasi individu pada pengalaman emosinya. Individu yang mampu melakukan penilaian secara internal akan mampu mengendalikan perilakunya saat berinteraksi dengan orang lain. Biasanya anak yang berusia di atas 3 tahun sudah mulai memiliki kemampuan regulasi diri ini (Eisenberg, 2010). Sementara untuk anak yang masih belum dapat meregulasi diri maka ia cenderung untuk senantiasa berusaha mencari rangsang yang dibutuhkannya atau sebaliknya menghindari rangsang yang membuatnya tidak nyaman (Skibbea, Connor, Morrison, & Jewkes, 2011).
Jika mengingat perannya sebagai dasar pertimbangan dalam antisipasi, maka pemahaman yang mendalam mengenai kemampuan EFT perlu dimiliki oleh orang tua dan para pendidik. Hal ini penting agar stimulasi yang tepat untuk membantu anak mengoptimalkan kemampuan dalam EFT dapat dilakukan.
Semoga mencerahkan... mohon maaf belum diedit dalam tulisan yang lebih sederhana

Tulisan ini dicuplik dari makalah EPISODIC FUTURE THINKING PADA ANAK USIA DINI yang disusun oleh Yanti Dewi Purwanti, Yuliana Dwi Endah, Veronica Paula, dan Irma Sukma Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar