Perilaku remaja seringkali menjadi sorotan di media massa, terutama
yang bertentangan dengan norma masyarakat. Perilaku tersebut berkaitan
dengan seks (Wahyuningsih, 2011), perkelahian (Sutrisno, 2011), narkoba
(Rahayu, 2011), rokok (“Iklan Rokok di TV Sesatkan Remaja Putri
Indonesia”, 2008), bahkan teror (“Pelaku Bom Bunuh Diri Marriott Remaja
18 Tahun”, 2009). Penelitian mengenai perilaku remaja yang negatif
tersebut sebenarnya sudah banyak dilakukan dan keberadaan berbagai
faktor penyebabnya juga telah dibuktikan (Suryoputro, Ford, &
Shaluhiyah, 2006; Komasari & Helmi, 2000; Shih & Huh, 2011;
Livingstone, 2008; Wu, 2010; Yowell, 2000). Selain bukti-bukti tentang
faktor yang mempengaruhi, penelitian-penelitian tersebut juga
membuktikan bahwa para remaja pun memikirkan antisipasi atas konsekuensi
yang harus ditanggungnya. Sayangnya pertimbangan yang digunakan oleh
para remaja yang berperilaku negatif sebagai dasar antisipasi tersebut
tidaklah matang.
Sebenarnya kemampuan untuk melakukan antisipasi
yang ditunjukkan remaja tersebut telah ada sejak masih berusia
kanak-kanak. Bukti ini diperoleh dari penelitian mengenai perkembangan
kognitif, terutama dalam cakupan kemampuan yang disebut dengan episodic future thinking (Atance, C.M. & Meltzoff, A.N., 2005), yaitu kemampuan
untuk memikirkan antisipasi suatu peristiwa tertentu yang mungkin
terjadi pada masa yang akan datang (Szpunar & McDermott, 2008).
Kemampuan yang membuat individu dapat menyusun berbagai alternatif
skenario peristiwa yang akan datang secara detail sebagai dasar
pertimbangan dalam antisipasi. Kemampuan yang khas pada manusia karena
pemikiran yang subjektif mengenai waktu tidak dimiliki oleh mahluk hidup
lainnya (Tulving, 2002), berhubungan dengan keberadaan episodic memory atau
ingatan mengenai peristiwa khusus yang pernah dialami (Schacter &
Addis , 2007; Szpunar & McDermott, 2008 ; D’Argembeau & Van der
Linden, 2011), dan berkembang seiring dengan pertambahan usianya
(Szpunar & McDermott, 2008).
Pada usia yang masih sangat muda, atau yang biasa disebut dengan usia dini, kemampuan dalam episodic future thinking
(EFT) masih belum terlihat dengan jelas sehubungan dengan masih
terbatasnya kemampuan dalam aspek kognitif, terutama bahasa, dan emosi,
terutama pada regulasi diri (Szpunar & McDermott, 2008).
Nelson
(dalam Atance & O’Neill, 2005) berpendapat bahwa pembicaraan yang
paling signifikan tentang masa depan biasanya bicara tentang peristiwa
yang belum pernah dialami, berbeda dengan rutinitas sehari-hari yang
anak-anak tahu dan pergunakan untuk mendukung antisipasi hal-hal yang
akan datang. Kunci EFT adalah proyeksi atau memposisikan diri. Proyeksi
dapat dijelaskan dengan mengidentifikasi perilaku yang dipercaya menjadi
bukti pemikiran masa depan episodik.
Cara bagaimana anak
berbicara tentang suatu peristiwa di masa depan dapat berfungsi sebagai
indikator apakah mereka memproyeksikan diri mereka sendiri ke kegiatan
tersebut. Proyeksi diri yang diperlukan untuk mengantisipasi dan
kemampuan untuk mengenali kendala memainkan peran penting pada
anak-anak. Sebagai contoh, seorang anak yang berbicara tentang
kemungkinan terluka (misalnya,''Saya mungkin akan terluka'') dapat
membentuk lebih dari satu representasi dari bagaimana masa depan akan
terungkap dan, lebih khusus, apa yang mungkin atau tidak mungkin terjadi
pada diri selama aktivitas di masa depan.
Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kemampuan EFT adalah kualitas interaksi antara anak
dengan orang tua, tingkat pencapaian perkembangan kognitif, terutama
bahasa, dan perkembangan emosi, terutama dalam regulasi diri. Faktor
utama yang berkontribusi adalah kemampuan orang tua untuk berbicara pada
anak-anak tentang masa depan, juga seberapa sering frekuensinya. Hudson
(dalam Atance & O’Neill, 2005) menunjukkan bahwa ketika
mendiskusikan peristiwa masa depan dengan akrab, ibu cenderung berfokus
pada apa yang biasanya terjadi. Namun, ketika membahas
peristiwa-peristiwa masa depan yang anak-anak belum memiliki pengalaman
sebelumnya, ibu lebih cenderung untuk menyarankan berbagai alternatif
tindakan.
Faktor lain yang dipertimbangkan dalam EFT adalah peran
bahasa. Selain anak-anak mendapatkan pemahaman yang lebih baik di masa
depan melalui percakapan dengan orang tua dan orang dewasa lainnya,
anak-anak juga mengembangkan keterampilan berpikirnya yang akan
memberikan sumbangan terhadap kemampuan mereka dalam memproyeksikan diri
ke masa depan. Kemampuan yang terbukti dipengaruhi oleh kualitas
referensi pengalaman individu sebagai dasar bagi penggambaran masa depan
dalam cakupan yang serupa dengan apa yang pernah dialaminya menggunakan
apa yang diperoleh inderanya saat distimulasi (Schacter & Addis ,
2007; Szpunar & McDermott, 2008 ; D’Argembeau & Van der Linden,
2011). Khusus pada anak-anak, penelitian yang dilakukan oleh Szpunar
& McDermott (2008) membuktikan bahwa kemampuan dalam EFT masih belum
berkembang dengan baik sehubungan dengan ketidaktahuan dan kurangnya
pemahaman atas pengalaman yang ditambah dengan indikasi ketidakmatangan
regulasi diri, oleh Atance dan Meltzoff (2005). Temuan ini didukung oleh
bukti yang dikemukakan oleh Gross dan John (2003) mengenai strategi
regulasi individu pada pengalaman emosinya. Individu yang mampu
melakukan penilaian secara internal akan mampu mengendalikan perilakunya
saat berinteraksi dengan orang lain. Biasanya anak yang berusia di atas
3 tahun sudah mulai memiliki kemampuan regulasi diri ini (Eisenberg,
2010). Sementara untuk anak yang masih belum dapat meregulasi diri maka
ia cenderung untuk senantiasa berusaha mencari rangsang yang
dibutuhkannya atau sebaliknya menghindari rangsang yang membuatnya tidak
nyaman (Skibbea, Connor, Morrison, & Jewkes, 2011).
Jika
mengingat perannya sebagai dasar pertimbangan dalam antisipasi, maka
pemahaman yang mendalam mengenai kemampuan EFT perlu dimiliki oleh orang
tua dan para pendidik. Hal ini penting agar stimulasi yang tepat untuk
membantu anak mengoptimalkan kemampuan dalam EFT dapat dilakukan.
Semoga mencerahkan... mohon maaf belum diedit dalam tulisan yang lebih sederhana
Tulisan ini dicuplik dari makalah EPISODIC FUTURE THINKING PADA ANAK USIA DINI yang disusun oleh Yanti Dewi Purwanti, Yuliana Dwi Endah, Veronica Paula, dan Irma Sukma Dewi